Tukang Tambal Ban

Langit menjadi berwarna merah. Angin bertiup perlahan dan terasa sejuk. Hari sudah sore. Ali duduk diam di teras. Dia memperhatikan Bapak tukang tambal ban di seberang rumahnya. Pak Dudung, tukang tambal ban itu sedang membereskan alat-alatnya. Dia memasukkan benda-benda yang aneh bentuknya. Ada pompa yang harus ditarik dulu dan kemudian baru menyala. Suaranya sangat keras sekali dan lama-lama mengganggu. Ada alat seperti dongkrak yang selalu dipakai untuk melepas ban. Ada obeng panjang, ada besi berbentuk L, ada ember kecil, ada ember besar. Semuanya terlihat sangat rumit sekali.
Ali selalu terpesona setiap Pak Dudung sedang mengganti ban motor. Setiap hari selalu saja ada orang yang datang dan meminta Pak Dudung untuk mengganti ban motornya. Ali ingin mencoba mengganti ban sekali saja. Tetapi rasanya ini pekerjaan sulit. Hanya orang dewasa yang bisa melakukannya. Ali diam sambil berusaha tetap menenangkan diri. Jantungnya berdetak dengan kencang. Dia selalu senang melihat Pak Dudung bekerja, bahkan ketika Pak Dudung sedang menutup warung tambal bannya. Ali berharap nanti ibu membolehkannya membantu Pak Dudung mengganti ban. Iya, semoga boleh. Ibu selalu melarang dia pergi ke depan, takut mengganggu Pak Dudung. Semoga Pak Dudung juga membolehkannya dan bilang ke ibu kalau Ali harus membantu Pak Dudung. Iya, semoga.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Telat

Aduh, telat. Ibu, aku telat. Aku langsung cepat-cepat bangun dan segera membereskan tempat tidur. Ibu sudah bangun, dia masuk ke kamar dan bilang “kamu cepat mandi”. Aku panik. Tidak ada lagi yang aku pikirkan selain segera berangkat. Aku harus tiba di sekolah tepat waktu. Jangan sampai aku telat. Aku ingin menangis. Ingin rasanya tidak sekolah. Tapi ibu selalu bilang “Kamu telat, itu salah kamu. Tetapi tidak sekolah, itu bukan pilihan. Kamu akan kehilangan semua kegembiraan di sekolah.”. Aku selalu ingat pesan ini. Ibu benar, aku selalu senang pergi ke sekolah. Setiap hari rasanya menyenangkan.
Aku sudah selesai mandi. Ibu sudah menyiapkan semuanya. Aku tinggal pakai tas, tinggal bawa bekal makanan buatan Ibu. Aku pasti sampai di sekolah tepat waktu. Ayah sudah mengeluarkan mobil dari garasi. Aku berlari dan segera masuk mobil. Aku tidak melihat lagi ke belakang. Mobil pun langsung berangkat. Dari jauh, Ibu hanya melihatku sambil tersenyum. Sementara aku tidak sabar ingin cepat sampai di sekolah.

Pintu Merah

Pintu merah. Depan jalan yang selalu Mutia lewati. Kenapa begitu menarik? Ibu selalu bertanya ini di dalam hati. Setiap pulang sekolah, Mutia selalu bercerita apa yang dilihat di rumah itu dan dia pasti selalu menceritakan pintu rumah itu. Pintu berwarna merah yang sangat terlihat dari jalan. Ibu hanya bisa mendengar cerita anaknya dan hanya bisa penasaran. Atau tersenyum.
Ibu pun mulai penasaran, ingin melihat langsung pintu merah itu. Suatu hari Ibu sengaja menunggu di seberang rumah pintu merah itu. Dia lama menunggu, mencoba menunggu sesuatu akan terjadi. Tak lama kemudian, dia melihat Mutia lewat. Mutia tidak melihat ibunya yang ada di seberang jalan. Dia hanya melihat ke arah rumah pintu merah. Sejenak dia berhenti melangkah, menoleh ke dalam halaman rumah tersebut. Lalu terdengar suara menyalak kecil. Mutia melompat girang. Dari sudut halaman, tiba-tiba muncul anjing kecil yang berlari. Anjing tersebut menyalak kecil kepada Mutia tetapi takut untuk mendekati, hanya berlari ke kanan ke kiri. Mutia tertawa mengejek. Dia pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu merah. Pipinya memerah, dia terlihat senang dan terpesona.
Merah memang warna yang sangat indah untuk dilihat. Besi pegangan pintunya keren, terlihat sangat bagus untuk dipasang di pintu tersebut. Mutia tidak mengerti mengapa dia sangat menyukai pintu itu. Dia hanya senang melihat pintu itu. Pintu yang sangat bagus. Ibu yang melihat anaknya dari seberang pun heran. Namun setelah lama mengamati tingkah laku anaknya ini, dia pun tersenyum.
“Mutiaaaaa,” panggil ibunya sambil berjalan ke arah Mutia, menyeberang jalan. Mutia berbalik, seketika dia langsung tersenyum lebar. “Ibuuuuuu !!!! Pintu Merah !!!!”. Dia menunjuk pintu merah itu dengan telunjuk kecilnya. Ibu membalas tersenyum dan berkata “Ayo pulang, lihat apa yang Ibu baru beli dari pasar.”. “Apa itu, Bu?” Mutia berteriak tidak sabaran dan berlari menuju ibunya. “Ayo kita pulang, Bu,” lanjutnya. “Ayo,” jawab Ibu.
Mereka mulai berjalan pulang. Mutia bercerita panjang lebar tentang apa yang dia lakukan di sekolah hari ini, dan tak lupa dia bercerita tentang pintu merah itu. Dia bilang “Pegangannya bagus, Bu.” Ibu hanya tersenyum dan menjawab “Iya, Ibu pun suka pintu itu. Memang harus dilihat langsung.” Mutia tersenyum, ada satu orang yang suka pintu merah itu juga. Dia bangga ternyata pintu ini ternyata memang benar-benar bagus karena ada orang yang menyukainya juga dan itu Ibunya. Di dalam hati, Mutia berteriak gembira “Ibuuuuuu, terima kasiiiiiiih.” Terlihat Ibu hanya tersenyum, tersenyum panjang yang mungkin akan lama tersimpan sepanjang hari ini. Mutia, terima kasih.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Di Bawah Pohon Tepat Jam 6 Pagi

Matahari sudah terbit sejak lima menit lalu. Seruni berlari segera keluar rumah dengan sudah memakai baju seragam SD-nya. Hari masih pagi, masih sedikit gelap. Walaupun sebenarnya di bagian lain dari tempat tinggalnya sudah terang sekali.

Seruni berlari ke pohon jati putih yang ada di halaman rumahnya. Dia menyukai pohon ini sejak pertama ibunya menanam di tempat tersebut. Sekarang pohon tersebut sudah besar. Seruni menghampiri dan meraba batang pohon yang terlihat putih. Dirabanya tanah di sekeliling pohon, diceknya semua batang yang mulai ditumbuhi daun. Dia termenung, dan terlihat berpikir. Dia menatap ke sekeliling mencari sesuatu. Dia pun mendapati apa yang dicarinya.

Seruni segera berlari ke arah ember yang tergeletak tidak jauh dari situ. Di dalamnya masih ada air dan gayung yang baru saja dipakai ibunya menyiram tanaman. Seruni mengambil sedikit air dari dalam ember dengan menggunakan gayung. Dia membawa gayung berisi air tersebut dan berlari kembali ke pohon. Dengan tangan kecilnya, dia berusaha menyiram air yang dibawanya ke arah pohon. Seruni memastikan sekeliling pohon kena oleh air. Setelah selesai, dia memegang batang pohon sambil berbisik, “Hai.”.

“Seruniiiii, makaaan duluuu,” terdengar ibunya memanggil dari dalam rumah. Seruni pun langsung berlari menuju arah suara itu. Tak lupa dia mengembalikan gayung yang sudah dipakainya ke ember. Seruni tertawa dan bernyanyi pelan. Dia senang, hari itu tepat jam enam pagi, dia sudah berhasil lagi menyiram pohon kesukaannya. Rasanya pohon jati pun tersenyum pada Seruni.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Di Antara Bulan dan Merkurius

Naga, sejak kapan dia diberikan nama itu. Semuanya tidak pernah tahu. Namun semua tahu bahwa Naga sangat suka sekali terbang. Naga bukan seperti anak-anak yang lain. Dia punya dua buah pesawat balon yang selalu dirawatnya. Pagi ini dia hendak mengeluarkan pesawat balon miliknya yang berwarna merah. Minggu lalu dia sudah mengeluarkan pesawat balon miliknya yang berwarna biru. Dia berpikir sekarang lebih cocok terbang dengan yang warna merah. Hari ini, pagi ini, bulan dan Merkurius terlihat sangat indah. Langit biru tua yang perlahan memudar dan sinar mentari yang mengintip di sepanjang ufuk, tidak ada lagi hari seindah hari ini.

Naga menengok dan melihat ufuk di sepanjang ujung lapangan terbang miliknya. Kemudian dia berbalik melihat rumahnya yang masih tetap terang sementara sekitarnya masih gelap. “Wah, angin sepertinya sedikit berubah.” Naga berujar di dalam hati. Kemudian dia mengangkat jarinya ke atas, berusaha meninggi dan akhirnya dia sedikit berjinjit. “Uh,iya.Pas!”,teriaknya. Lalu Naga berlari di sepanjang landasan aspal buatannya. Dia memperhatikan setiap jengkal, berharap tidak ada sampah atau benda-benda berbahaya yang akan membahayakan peluncuran pesawatnya. Naga berlari kecil, terkadang jongkok, memeriksa dengan tangannya, kemudian berdiri lagi, berlari, jongkok lagi, memeriksa lagi dan terus mengulangi apa yang dia lakukan. Di ujung landasan kemudian dia berbalik dan memandang seluruh landasan miliknya sambil mengedipkan mata pada pesawat balonnya. Naga tersenyum, sambil kemudian menghembuskan napas dan merentangkan tangan. Dia langsung berlari riang dan melompat sesekali menuju pesawat balonnya.

Naga melompat masuk ke dalam pesawat balonnya yang terbuat dari kardus, kayu dan berbagai bahan bekas yang ditemukan di penjuru desanya. Naga memeriksa lagi semua dengan teliti.

“Semua sudah siap, sepertinya kita bisa mulai terbang.”

Seperti biasa Naga memakai syal hijau dan kacamata terbang miliknya. Dia merapatkan jaket yang dipakainya. Setelah mengecek lagi balon yang jadi alat utama supaya pesawat bisa terbang. Naga pun yakin semua akan lancar. Dia menarik nafas dan kemudian menghembuskannya dengan cepat. Naga mulai berlari. Dia berlari mulai dengan langkah kecil dan kemudian mempercepat langkahnya sambil tetap memegang pesawat buatannya supaya mereka bisa melesat ke langit bersamaan. Sambil tetap berlari, dia melepaskan dua ikatan tali di depan pesawat. Seketika muncul dua buah balon dari depan pesawat. Dua buah balon itu langsung mengangkat bagian depan pesawat balonnya. Naga tersenyum dan melepaskan lagi dua ikatan tali di belakang pesawat. Bersamaan dengan itu, Naga langsung melompat.
Naga berteriak, “Wohooooiiii!”

Pesawat balon merahnya melesat ke atas. Terbang di saat mentari masih saja mengintip malu di sepanjang ujung daratan. Naga terlihat sangat senang. Sementara di bawah, tetangga-tetangganya yang baru saja mau pergi ke pasar hanya bisa melihat dengan takjub. Mereka selalu takjub dengan apa yang dilakukan Naga. Naga, masih kecil, masih anak-anak, tetapi semua yang dilakukannya membuat mereka semua punya kesenangan di tiap pagi seperti ini.

Semakin jauh Naga terbang, para tetangganya hanya bisa semakin berdecak kagum bahkan ada yang diam terperangah. Sementara jauh di langit, di antara bulan dan sinar Merkurius yang misterius, kita hanya bisa melihat titik merah besar, pesawat balon milik Naga.

“Naga! Terima kasih.” Dan semua tetangga-tetangga yang pagi itu keluar langsung bertepuk tangan. Penduduk desa sebelah sepertinya juga melakukan hal yang sama. Naga hanya menengok ke bawah, tersenyum dan berusaha berkonsentrasi pada penerbangannya.

Pagi ini, sebelum pergi ke pasar, Naga terbang di langit di antara bulan dan Merkurius dengan latar langit biru menjelang matahari terbit. Adakah yang lebih menyenangkan daripada ini?

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Langit di Belakang

Cahaya-cahaya itu mulai melintas dengan cepat. Titik-titik kecil itu bergerak mengikuti awan yang bertiup seirama gerak ujung daun pohon-pohon yang ada di atas lereng bukit. Di ujung teras kandang kuda terlihat seekor kucing yang sedang berdiam. Namanya Suni, saat ini dia mengendus ekornya. Menjilati sampai tidak ada kotoran yang menempel. Dia merapihkan bulunya agar lurus-lurus, kemudian berbaring memperhatikan teman-teman kecil di langit.

Titik-titik kecil yang bercahaya di langit pada malam ini tampak indah. Mereka berlarian, mengejar satu sama lain. Sekali-kali ada yang jatuh, kemudian yang lain pun melambatkan gerakannya. Menunggu temannya bangkit. Setelah bangkit, mereka pun berlari kembali. Cahayanya terkadang meredup, terkadang menjadi terang sekali. Pemandangan ini membuat Suni tersenyum.

Manusia sering memanggil titik-titik kecil ini bintang. Suni tidak mengerti mengapa mereka dipanggil bintang. Dia hanya senang pada apa yang dilihatnya setiap malam. Bintang-bintang yang berlarian sepanjang malam. Mereka terlihat bahagia.

Suni mengangkat badannya. Dia merasa harus mulai menggerakkan badannya. Mengeong sedikit, mencoba menyapa bintang-bintang yang masih saja berlarian. Suni berdiri memperhatikan sebentar. Bintang-bintang di atas sempat melambat. Mereka mencoba menguatkan sinarnya, berusaha membalas sapaan Suni sebentar lalu kembali berlarian lagi.

Sejenak Suni menoleh ke arah kuda-kuda di kandang. Mereka sudah tertidur pulas, tidak ada lagi yang bisa diajak mengobrol. Dia melompat dan tak lama kemudian menghilang dalam kegelapan. Sementara di langit para bintang masih saja berlari dengan semangatnya seperti malam-malam sebelumnya mereka semua menemani Suni saat malam.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Malam Purnama.

Buni melepas benda di tangannya. Dia mengepakkan sayapnya lagi. Malam ini awan terlihat indah sekali. Warna kuning bulan purnama terlihat sangat cerah. Langit sangat cerah, tidak terlihat ada awan. Buni ingin terbang sangat jauh dari pohon tempat tinggalnya. Dia hinggap lagi di pohon cemara, kemudian melirik ke kanan dan ke kiri. Semua teman-temannya terlihat asik terbang dan berbicara satu sama lain.

Malam ini sangat ramai. Hewan-hewan lain juga banyak yang keluar. Kelinci-kelinci terlihat sedang berkumpul di padang rumput. Mereka sedang membicarakan rencana liburan di minggu depan. Buni mencoba mendengarkan pembicaraan mereka tetapi ternyata terlalu jauh. Buni pun terbang mendekat. Dia melihat ada satu pohon kecil yang ada di dekat tempat kelinci-kelinci tersebut berkumpul. Buni mencoba mendarat dengan perlahan sehingga kelinci-kelinci tersebut tidak sadar bahwa dia mencoba mendengar pembicaraan mereka.

Eh, tapi sesaat setelah Buni mendarat, dahan pohon tersebut langsung patah. Seketika itu juga, kelinci-kelinci langsung berlarian. Mereka berlari menghindar dan setelah agak jauh mereka baru mulai berkumpul lagi. Buni kecewa, para kelinci memilih tempat berkumpul yang terlalu jauh dan dia malas untuk pindah lagi. Buni hanya menggerutu. Dia merasa bodoh dan kesal dengan dahan pohon yang mengacaukan segalanya.

Buni mencoba tidak kesal. Dia memandangi langit lagi supaya perasaannya kembali senang. Langitnya indah sekali! Terlalu cerah untuk dirusak oleh apa pun di dunia ini. Buni bersyukur dia makhluk malam sehingga bisa terjaga semalaman. Jangan hujan, ya, jangan. Buni sangat berharap. Dia ingin malam ini tetap terang dan akan terus ceria sampai akhir. Buni tersenyum dan dia terdiam memandangi langit malam ini.

Awan-awan mulai bermunculan dan kemudian dari beberapa semak-semak terlihat mata-mata yang bersinar. Mata-mata serigala yang sudah mulai berkeliaran mencari mangsa. Mereka tampak bersemangat. Melangkah dengan penuh percaya diri walau tetap waspada dan tidak megeluarkan suara apa pun. Buni terbang dan hinggap di pohon yang tinggi sehingga bisa memperhatikan tingkah serigala-serigala tersebut. Mereka tidak peduli dengan Buni, mereka lebih memilih serius untuk mencari mangsa. Mengendus sana sini dan mencoba mencium bau yang mereka cari. Mereka sangat tekun mencari sampai tidak ada yang mencoba menikmati keindahan langit malam ini.

Buni yang dari tadi hanya memperhatikan sekitarnya tiba-tiba bergerak melihat sesuatu. Matanya langsung menatap tajam. Dia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Dia mencoba menahan napasnya dan kemudian melesat langsung menuju tempat yang sejak tadi menarik perhatiannya. Dia terbang dengan keheningan dan kecepatan yang dimiliki oleh setiap hewan pemburu. Buni merenggangkan cakar di kaki. Malam ini malam ceria. Dia tidak kesulitan menemukan makan malamnya. Sungguh malam yang indah! Andai semua malam seperti ini. Buni pun tersenyum lebar sesaat sebelum menerkam mangsanya.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Ibu, Maaf

“Ibu, maaf.”
Suara Tasya terdengar kaku dan gemetar. Tasya gelisah dan ingin cepat pergi tapi dia tetap diam di situ. Tasya menggigit jarinya lalu kembali bicara.
“Ibu, maaf.”
Suaranya sedikit lebih keras. Namun Ibu diam dan tetap melipat baju.
“Ibuu, maaf.”
Ibu hanya menengok dan kemudian melipat baju lagi.
“Ibu, maaf.”
“Iya, Tasya. Terus…”
Ibu akhirnya bicara.
“Ibu, maaf.”
“Maaf, kenapa, Tasya?”
“Ibu, maaf. Tadi Tasya sudah teriak-teriak.”
“Terus…”
“Ibu, maaf. Tasya tadi teriak-teriak padahal Tasya yang salah.”
“Salah kenapa?”
Ibu menengok sebentar dan tersenyum kecil.
“Tasya ga mau ngeberesin mainan.”
“Kenapa, Tasya?”
“Tasya harusnya ngeberesin mainan kalau sudah selesai.”
“Lalu…?”
Ibu kembali tersenyum dan terus saja melipat baju.
“Tasya salah, tadi tidak mau ngeberesin.”
“Iya, terus…?”
Tasya menggerakkan kaki kecilnya ke kanan dan ke kiri, tampak bingung dan berpikir keras.
“Tasya mau minta maaf karena bikin Ibu marah.”
“Terus..”
“Maaf, Ibu. Maaf karena Tasya teriak-teriak. Tasya sudah ngeberesin semuanya.”
Ibu berhenti melipat baju dan menengok. Ibu tersenyum lebar.
“Tasya, ayo tolong Ibu bawa baju ini.”
Lalu ibu memberikan beberapa baju yang sudah terlipat kepada Tasya. Tasya menerima dengan tangan kecilnya. Dia berusaha menahan supaya baju-baju itu tidak berantakan. Ibu mengusap rambut Tasya. Ibu berdiri sambil membawa lipatan baju juga.
“Ayo, Tasya. Baju-baju ini kita bawa ke kamar.”

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Pohon

Fuad duduk diam melihat pohon mangga di depan matanya. Dia menggaruk kepalanya berulang kali, kemudian mencoba mengitari pohon yang rimbun itu. Dia pegang batang pohon yang sangat besar. Besar sekaliiii. Dia coba peluk pohon itu, besaaaaarrr. Fuad tampak bingung, dia berpikir pohon ini tidak bisa jadi rumahnya. Pohon ini terlalu besar dan tampaknya tidak bisa dibuat apa-apa. Fuad mengambil jarak dari pohon itu dan kembali duduk. Dia garuk kembali kepalanya. Ok, ini bukan rumahku. Fuad pun berdiri dan mengambil kotak yang ada di sampingnya. Dia masuk kembali ke kotak tersebut. Kotak itu pesawatnya, dia sedang pergi menjelajah dunia di kebun milik neneknya.

Fuad pun berangkat naik pesawatnya yang terbuat dari kotak. Dia mau mencari kampung halamannya. Apa itu kampung halaman, Fuad hanya tahu itu rumah. Rumah tempat dia bisa pulang dan tinggal. Ibunya bercerita tentang kampung halaman ketika hari lebaran. Fuad sudah pergi ke dua pohon, yaitu pohon ketela dan yang terakhir pohon mangga. Kedua pohon tersebut tidak cocok untuk ditinggali menurut penilaian Fuad. Fuad jago menilai, dia tahu pohon mana yang bisa jadi rumahnya.

Fuad pergi ke ujung kebun karena dari pohon yang ada di tempat itu terdengar suara burung berkicau. Dia berlari secepat mungkin takut tidak sempat melihat burung yang bertengger di pohon tersebut. Fuad menghentikan langkahnya saat sudah dekat dengan pohon itu. Dia pun menundukkan badannya sambil mengendap-ngendap perlahan. Dia mendongak ke atas dan mencoba melihat burung tersebut ada di mana. Suaranya terdengar jelas, tetapi tidak terlihat satu pun burung yang hinggap. Fuad hanya melihat dedaunan pohon yang sangat lebat dan sangat gelap. Fuad susah melihat apapun yang ada di balik daun-daun pohon tersebut, tetapi dia yakin burung itu pasti ada di pohon ini.

Beberapa kali dia mendongak dan mencoba melihat dari sudut yang lebih jelas tetapi tetap tidak terlihat. Fuad pun lelah mengangkat pesawatnya, dia letakkan dan keluar dari pesawat. Dia mengendap-ngendap mendekat ke batang pohon yang jadi sasarannya sejak tadi. Matanya tetap melihat ke atas dan mencoba memperhatikan dengan lebih teliti. Tiba-tiba dia melihat seperti ada gerakan, benarkah itu burung yang dari tadi berkicau. Fuad pun jongkok tanpa mengubah posisi kepalanya yang terus mendongak ke atas. Dia ingin bersiul mengikuti kicauan burung tersebut tetapi dari lama dia belum juga bisa bersiul. Dia menyesal tidak berlatih bersiul dengan lebih rajin, jadinya ketika saat ini datang malahan tidak bisa berkicau seperti burung-burung itu. Fuad ingin sekali bisa berbicara dengan burung-burung ini. Kicauan mereka terdengar sangat seru.

Fuad jongkok lama sekali dan bersabar sampai burung-burung yang ada di pohon muncul. Dia menunggu lama sekali. Fuad pun mulai mengubah pesawat kotaknya menjadi alas tidur. Dia meratakan kotak tersebut tidak jauh dari pohon. Setelah dirasanya cukup rata, dia pun berbaring di atas kotak tersebut dan kembali melihat ke atas pohon. Matanya melihat dengan teliti semua sudut pohon yang rimbun. Jangan sampai terlewat.

Angin bertiup semilir, Fuad merasa sangat nyaman. Dia hanya hanya sesekali menggerakkan badannya. Suara-suara kicauan itu tidak juga berhenti. Fuad bersabar menunggu sampai burung-burung itu muncul. Dia mencoba tidak banyak bergerak, biar burung-burung tersebut mau muncul. Gemerisik daun yang ditiup angin kadang menutupi suara kicauan burung. Fuad hanya diam dan terus mengarahkan pandangannya ke atas. Dia diam dan malas untuk banyak bergerak. Sekarang dia sudah tidak begitu teliti melihat, Fuad menutup matanya dan hanya mendengar suara burung yang terus berkicauan. Suara kicauan mereka semakin berkurang, sepertinya sebagian dari burung itu sudah pergi terbang. Fuad hanya diam dan tetap menutup matanya. Fuad mengantuk dan dia pun mulai tertidur. Dia lupa tujuan awalnya untuk menunggu burung-burung itu keluar. Dia tertidur. Dia tidur dengan tersenyum, dia merasa senang dengan pohon yang ini dan malas mencari lagi.

Pohon ini menyenangkan.

whatsapp-image-2017-01-31-at-08-25-25

Kakoya (bagian 2)

“Apaaa ini?”

Suara Athi sedikit berat, dalam dan penuh rasa ingin tahu. Wajahnya berseri dan tanpa sadar senter di muka pun menyenggol wajah Sapsap dengan keras. Sapsap pun sejenak diam dan tampak tidak bisa membuka lagi mulutnya. Mulutnya terlihat membiru. Athi tidak menyadarinya langsung. Dia masih mencoba melihat benda di depan matanya, sementara Naar hanya melihat sekilas nasib Sapsap dan dia pun tak peduli. Naar ikut memperhatikan benda berkilauan di depan Athi.

“Ini pasti punya manusia!” ujar Naar.
“Kata siapa….tidak mungkin, tidak mungkin” balas Athi dengan sengit.
“Humph,humph,humph,umpph,grrr errr….” Sapsap berusaha menimpali omongan kedua temannya tapi lagi-lagi dia kesulitan membuka mulutnya.

Dua temannya masih mencoba menerka-nerka benda apa yang ada di depan mereka.
“Bulat,lingkaran..,ini pasti dari perahu..” Athi mencoba memecahkan rasa penasaran mereka.
“Bukan ah, terlalu bagus untuk di perahu.” Naar mendebat.
“Umph,urrrr,hmmpphhhh,hem,hem…” Sapsap masih berusaha,kali ini ditambah goyangan kepala. Entahlah apa maksudnya.

Mata mereka bertiga berkilauan warna kuning, warna benda di depan ketiganya. Yang jelas bentuknya bulat seperti lingkaran. Apa itu? Kita tidak usah ikut menebak. Ketiganya saja sudah cukup susah untuk menebak, kita nonton saja apa yang akan terjadi.

Sapsap masih kesakitan tapi ditahannya karena benda bulat ini lebih menarik. Athi dan Naar juga tidak peduli pada sekelilingnya bahkan tidak melihat Sapsap yang terus menggerakkan mulutnya biar pulih. Namun ternyata sakitnya itu benar-benar menyiksa sehingga dia tidak bisa membuka lagi mulutnya. Biarlah saja kali ini, pikir Sapsap…benda bulat lingkaran di depan mata lebih menarik…

“Apaaa ini?” teriak Athi dengan lantang.

(bersambung)